الْيَقِنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
- Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam
khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada dasarnya tebagi dalam dua
kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk
masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap
individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja
dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang
bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya
terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi
kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
Dalam pembahasan ini pemakalah akan
mencoba untuk membahas cabang-cabang kaidah Alyaqin La Yazulu Bisyakki. Menurut
hemat penulis, bahwa kaidah ini sangat penting untuk dibahas karena merupakan
kaidah yang berisi tentang al-yaqin dan asy-syakk
Kaidah ini menghantarkan kepada kita
kepada konsep kemudahan demi menghilangkan kesulitan yang kadang kala menimpa
kepada kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak
keragu-raguan. Dan telah diketahui akibat dari keragu-raguan adalah adanya
beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara
benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah
Alloh dan menjauhi larangan-Nya, termasuk didalamnya adalah aqidah dan ibadah
PEMBAHASAN
- Pengertian Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak
Al-Yaqin menurut
kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya, sedangkan Asy-Syakk
bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.
Menurut istilah
dari beberapa tokoh yakni :
- Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya ”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.
- Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
- As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
- Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.
- Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.1
Untuk bisa
memahami kaidah ini, terlebih dahulu harus mengetahui, bahwa tingkat daya hati
dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-beda, yakni :
- Al Yakin
Secara bahasa:
mengetahui dan hilangnya keraguan. Al Yakin merupakan kebalikan dari Al Syak.
Bisa disimpulkan bahwa Al Yakin adalah bentuk penetapan dan penenangan atas
sesuatu yang sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Keyakinan yang ada tidak
bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru datang, dan keyakinan semacam ini
tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan yang sederajat.
- Ghalabah al Dzan
- Ghalabatul al dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada dua kemungkinan. Ia menduga salah satunya lebih unggul dan hatinya lebih condong untuk membuang salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul disebut Ghalabatul al dzan.
- Al Dzan
Menurut para ahli fiqh jika salah satu
dari dua kemungkinan itu lebih kuat dan bisa mengungguli yang lain, namun hati
enggan mengambil yang kuat dan enggan juga membuang lainnya yang lemah maka
inilah yang disebut al dzan. Sedangkan jika hati berpegang pada salahsatunya
dan membuang yang lain maka disebut Ghalabatul al dzan
- Al syak
Al syak secara
bahasa artinya ragu atau bingung. Secara terminologi, al syak adalah setara
antara dua perkara, yaitu berhenti/tidak bisa menentukan diantara dua perkara
dan hati tidak condong pada salahsatunya. Sementara Al Razi menjelaskan, ragu
diantara dua perkara, jika keduanya seimbang, maka disebut Al Syak. Jika tidak
seimbang, maka yang lebih unggul disebut dzan dan yang lemah disebut salah
duga/al wahn.2
- Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak Beserta Contoh Penerapannya
Dari kaidah Al Yaqinu La Yuzalu
Bi al-Syak diatas kemudian dibagi menjadi kaidah- kaidah cabangnya yakni :
- الْأضصْلُ بَقاءُ مَاكَانَعَلَى مَاكَانَ (Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)
Kaidah ini semakna pula dengan مَا
ثَبَتَ بِزَمَنِ يُحْكَمُ ببَقَاءِهِ مَالَم يَقُمْ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
(Apa yang ditetapkan berdasrkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan
berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya)
Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap
perkara yang telah memiliki status hukum yang pasti sebelumnya, harus tetap
dipertahankan sebagaimana kondisi hukum semula, hukum tersebut tidak bisa
diubah, selama belum ada bukti kuat dan meyakinkan yang bisa mengubahnya.3
Misal :
- Aminah meyakini bahwa ia telah punya wudhu (suci), tetapi kemudian ia ragum apakah sudah batal atau belum. Berdasarkan kaidah ini ia tetap dihukumi punya wudhu. Sebab, sebelumya ia yakin bahwa ia telah berwudhu. Keyakinannya tersebut tidak bisa dihilangkan denga keraguannya yang mengatakan bahwa ia telah mengalami hadas.
- Fandi memiliki hutang kepada Anton. Fandi kemudian mengaku bahwa ia telah membayar hutang tersebut, tetapi anton tidak mengakuinya. Dalam hal ini, Fandi tetap dihukumi punya hutang, sampai ia benar-benar mampu membuktikan bahwa dirinya telah membayar hutangnya kepada Anton
- لْأَصْلُ بَرَءَةُ الذِمَّةِ (Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
Pada dasarnya manusia dilahirkan
dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik hal Allah maupun hak Adami. Setelah dia
lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.4
Misal :
- Anak kecil bebas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai ia baligh.
- Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai ada bukti adanya akad nikah yang sah.
- الْأَصْلُ الْعَدَمُ (Hukum asal adalah ketiadaan)
Kaidah ini dapat lebih jelas dengan
kaidah الْأَصْلُ فِي الصِّفَاتِ الْعأرِضَةِ الْعَدَمُ (hukum asal pada
sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada)
Misal :
- Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang diperjualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat iti tidak ada. Ada pula ulama’ yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ditangan penjual.
- الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَبِالزَّمَأنِ (Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)
Kaidah diatas terdapat dalam
kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab madzhab Hanafi juga
terdapat الْأَصْلُ إِضَفَةُ الْحأدِثِ إِلَى أقْرَبَ أَوْقَاتِهِ (Hukum asal
adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat dengannya)
secara substansi sama saja.
Apabila terjadi keraguan karena
perbadaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah
menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang
paling dekat yang menjadikan peristiwa itu. Kecuali ada bukti lain yang
meyakinkan bahawa peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu yang lebih jauh.5
Misal :
- Seorang wanita sedang mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi dalm keadaan hidup dan sehat. Selang bebarapa bulan, bayi itu meninggal. Maka, meninggalnya bayi itu tidak disandarkan keapada pemukulan yang terjadi pada waktu yang lama, tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waku paling dekat dengan keamtiannya.
- الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ (Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)
Misal :
- Apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.
Dikalangan madzhab Hanafi ada pula
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْحَظَرُ (Hukum asal segala sesuatu adalah
larangan[haram])
Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang
fiqh mu’amalah, sedangkan untuk fiqh ibadah digunakan kaidah الْأَصْلُ فِي
الْعِبَدَةِ الْمبُطْلَانُحَتَّى يَقُمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ (Hukum asal
ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya), kaidah ini
semakna dengan لَاحُكْمُ لِلْأَفْعَالِ قَبْل وُرُوْدِ الشَّرْعِ (Tidak ada
hukum terhadap suatu perbuatan sampai datangnya syari’ah) dan kaidah
الْمَشْكُوْكُ فِي وُجُوْبِهِ لَا يَجِبُ فِعْلُهُ (Yang meragukan tentang hukum
wajibnya, maka tidak wajib dilakukan).6
- الْيَقِنُ يُزَالُ بالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ (Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang meyakinkan pula)
Misal :
- Kita berpraduka tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut tertangkap sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum.
- Si A berhutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A telah membayar utangnya kepada si B, misalnya ada kuitansi yang ditandatangani si B yang menyatakan bahwa hutang A sudah lunas. Maka, si A yang tadinya berhutang, sekarang sudah bebas dari hutangnya.
- أَنْ مَاثَبَتَ يَقِيْنٍ لَا يُرْتَفَعُ إِلَّا يَقِيْنٍ (Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi)
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil
yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thowaf,
seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang
meyakinkan adalah jumlah yang kelima. Jadi dalam hal yang berhubungan dengan
bilangan, apabila seseorang itu ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang
meyakinkan.7
- الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الحَقِيْقَةُ (Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
Kaidah teresebut lebih dekat
dimasukkan ke dalam kelompok kaidah ushul daripada kaidah fiqh. Alasannya,
kaidah tersebut berkenaan dengan kebahasaan. Sedangkan kaidah-kaidah bahasa berhubungan
erat dengan arti yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.8
Misal :
- Apabila seseorang berkata:”Saya mau mewakafkan harta saya kepada anak Kyai Ahmad”. Maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu. Demikian pula kata-kata hibah, jual beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lainnya di dalam akad harus diartikan dahulu dengan arti kata yang sebenarnya, bukan arti kiasannya.
- الْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيْمُ (Hukum asal bersenggama adalah haram)
Persoalan lain yang menurut fikih
(Islam) memiliki hukum asal haram adalah melakukan persetubuhan (senggama).
Dalam kaidah ini disebutkan bahwa ketentuan dasar melakukan persetubuhan dengan
perempuan adalah haram, kecuali dengan ada sebab yang diyakininya bisa
menghalalkannya, yakni pernikahan.9
Misal :
- Arfan ragu mengenai sah tidaknya akad nikahnya dengan Ani. Karena Arfan meragukan salah satu dari syarat nikah, maka ia tidak boleh berhubungan badan dengan Ani. Sebab, hukum asal melakukan hubungan badan adalah haram.
Qadhi Abd al-Wahhab al-Maliki menyebutkan
dua kaidah lagi yang berhubuingan dengan “Al Yaqin la Yuzal bi al-Syak”, yakni
sebagai berikut :
- لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ (Tidak dianggap [diakui], persangkaan yang jelas salahnya)
Apabila seorang debitor telah
membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor atau
penanggungjawabnya membayar lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum
dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta
dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pembayarannya dilakukan atas dasar
prasangka yang jelas salahnya.
- لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ (Tidak diakui adanya wahan[kira-kira])
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalam
zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan dalam wahann,
yangsalah itu zatnya. Apabila seseorang meningal dengan meninggalkan sejumlah
ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli
waris yang dikira-kira.10
Kaidah Keenam:
مَنْ شَكَّ أَفَعَلَ شَيْئًا أَمْ لا
فَاْ لأَ صْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ.
“Orang yang ragu apakah dia telah melakukan sesuatu atau belum, maka pada dasarnya dia belum mengerjakannya.”
Contohnya:“Orang yang ragu apakah dia telah melakukan sesuatu atau belum, maka pada dasarnya dia belum mengerjakannya.”
Seseorang ragu-ragu sewaktu mengerjakan shalat apakah ia mengerjakan i’tidal atau tidak, maka ia harus mengulang mengerjakannya. Sebab ia dianggap seolah-olah tidak megerjakannya.
KESIMPULAN
Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak (Keyakinan tidak bisa dihapus dengan keraguan) memiliki dua
kata dasar yang utama yakni al-Yaqin yang berarti pengetahuan dan tidak ada keraguan
didalamnya, sedangkan al-Syakk bisa diartikan sesuatu yang
membingungkan. Sedangkan tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu ada empat
yakni Al Yakin, Ghalabah al Dzan, Al Dzan dan Al syak.
Sedangkan Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak
dibagi menjadi sebagai berikut :
- الْأضصْلُ بَقاءُ مَاكَانَعَلَى مَاكَانَ (Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)
- لْأَصْلُ بَرَءَةُ الذِمَّةِ (Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
- الْأَصْلُ الْعَدَمُ (Hukum asal adalah ketiadaan)
- الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَبِالزَّمَأنِ (Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)
- الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ (Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)
- الْيَقِنُ يُزَالُ بالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ (Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang meyakinkan pula)
- أَنْ مَاثَبَتَ يَقِيْنٍ لَا يُرْتَفَعُ إِلَّا يَقِيْنٍ (Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi)
- الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الحَقِيْقَةُ (Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
- الْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيْمُ (Hukum asal bersenggama adalah haram)
- لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ (Tidak dianggap [diakui], persangkaan yang jelas salahnya)
- لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ (Tidak diakui adanya wahan[kira-kira])
Tidak ada komentar:
Posting Komentar